Rabu, 12 September 2012

Degradasi Ghirah Pendidikan Islam


Pemuda adalah masa depan bangsa. Sedang masa depan pemuda tergantung pada pendidikannya. Maka, di sinilah pentingnya pendidikan. Dan, sistem dalam sebauh pendidikan jauh lebih penting dari isi pendidikan itu sendiri. At-thoriqoah ahammu minal madah.
Dan, sebagai umat Islam, kita semestinya harus yakin, pendidikan Islam adalah yang terbaik. Tapi butulkah kita sudah meyakininya? Entahlah!
Pendidikan Islam muncul sejak Nabi Muhammad diutus untuk menyebarkan agama Islam. Mulanya, pendidikan Islam terbatas pada bentuk perkumpulan (halqah). Di situ terdapat seseorang yang memimpin, sebagai seorang pembim­bing. Halqah atau kumpulan sekelompok orang dengan bentuk melingkar itu dilakukan untuk belajar ilmu pengetahuan.
Pada awal munculnya Islam, fasilitas pendidikan Islam hanya terbatas pada masjid, surau atau tempat peribadatan lainnya. Namun lambat laun pendidikan Islam mengalami peningkatan dengan didirikannya lembaga pendidikan seperti madrasah, sekolah formal, universitas dan perpustakaan—serta dibentuknya halqah dirasiyah (kajian, diskusi).
Pada paruh pertama periode Daulah Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M.) dan Daulah Umayyah di Spanyol (711-1492 M), pendidikan Islam mencapai puncak ke­emasan­nya, di mana Islam melakukan integritas dari beragam keilmuan yang ada saat itu, dan mentrans­formasikan berbagai disiplin ilmu pengetahuan secara integral. Namun demikian, Islam tidak mengesamping­kan nilai-nilai moral dan keutamaan (al-fadl) yang menjadi target utama dalam pendidikan Islam itu sendiri, karena moralitas dan keutamaan adalah ‘the top poin’ (ruh) dari pendidikan Islam. Pada saat itu, kaum muslimin tidak menutup diri untuk mengkaji dan membuka sekolah-sekolah kedokteran, sastra, ilmu-ilmu pasti (al riyadliyah), filsafat (Islam) dan lain-lain. Mereka tidak memberi limited place and time (batasan ruang lingkup dan tempat) untuk mengkaji ragam keilmuan yang berkembang.
Tidak heran jika kemudian bermunculan sarjana-sarjana muslim yang berkompeten dalam beragam ilmu pengetahuan, baik bidang keagamaan atau lainnya. Seperti Al Ghazali dengan tashawufnya, Ibn Rusyd dan Al Kindi dengan filsafatnya, dan Ibn Sina dengan ilmu medisnya. Mereka adalah satu di antara sekian banyak sarjana Muslim yang memegang kendali keilmuan pada saat itu.
***
Dalam pengamatan sejarah, pendidikan Islam di Indonesia mulai mengalami perkembangan pada awal abad ke 20. Banyak madrasah dan pesantren  lahir. Sejak penjajahan Belanda, di Indonesia telah didirikan sekolah dan atau madrasah yang memiliki orientasi keislaman. Mulai dari Sumatera Barat, Sumatera Timur, Padang, Jambi, Aceh, Palembang, Jombang, Kudus, Yogyakarta, Banten, Jakarta, Sulawesi, Lombok, Kalimantan, Jawa dan di berbagai belahan Nusantara lainnya.
Pertengahan abad 20 adalah era munculnya sekolah-sekolah tinggi Islam. Sekolah Guru Agama Islam (SGAI), Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHA), Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang kemudian diubah menjadi IAIN, dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).
Pertanyaannya, apakah kesuksesan dan kemajuan pendidikan Islam itu bisa dinilai dari semakin pesat dan semaraknya madrasah, penerapan kurikulum agama dan didirikannya sekolah tinggi agama Islam? Fenomena di atas tidak cukup kuat untuk dijadikan acuan bahwa pendidikan Islam telah mengalami kesuksesan. Dan sulit juga kita katakan bahwa pendidikan Islam mengalami kemunduran. Memang, pesatnya lembaga pendidikan yang berorientasi keislaman, baik yang berskala nasional ataupun internasional, telah mengarah pada sebuah orientasi yang cerah, memiliki nilai positif-plus terhadap ajaran agama. Tanpa kita sadari sekian juta umat dunia telah mengenyam pendidikan agama (Islam). Ajaran agama semakin terjamin keutuhan dan entitasnya. International Islamic University di Pakistan dan Malaysia, Islamic Institute of Advanced Studies di Washington DC dan the International Institute of Islamic Thaught and Civilization di Kuala Lumpur Malaysia adalah salah satu bukti bahwa perkembangan pendidikan Islam memang patut dibanggakan. Tapi di sisi lain, rasanya kita jarang (atau lebih tepatnya: belum) menyaksikan teori-teori atau penemuan orang Islam yang kemudian bisa dikonsumsi oleh umat manusia secara umum. Kalaulah ada, mungkin hanya “nol koma” dari sekian milyar umat Islam di dunia saat ini. Dan, yang dapat kita amati adalah mayoritas  (kalau tidak mau mengatakan seluruh) umat Islam menjadi konsumen atau penjiplak budaya dan teori-teori Barat. Terbukti--kalau mau dihitung secara presentasi--lebih dari 50% umat Islam yang ada di Indonesia lebih memilih pendidikan formal yang nota bene-nya berkiblat pada Barat. Sehingga secara tidak langsung bisa ditarik benang kusut bahwa umat Islam tidak tertarik dengan pendidikan yang didirikan oleh umat Islam sendiri, dalam hal ini pendidikan pesantren dan sekolah-sekolah Islam lainnya.
Salah satu bukti nyata adalah nasib universitas al-Azhar. Dulu, ia menjadi universitas kebanggaan umat Islam. Banyak mahasiswa Barat tertarik dan kemudian menuntut ilmu ke sana. Tapi kini, al-Azhar hanya dipandang sebelah mata, bukan hanya oleh orang luar, tapi juga oleh kaum muslimin sendiri. Al-Azhar menjadi universitas “swasta” yang sejatinya hanya dilirik oleh calon mawasiswa “kelas” dua. Dan ini juga sangat dirasakan oleh universitas-universitas Islam di negara-negara Islam, termasuk Indonesia.
Ironis memang, jika umat Islam enggan atau gengsi meneruskan studinya di “kandang” sendiri, dan lebih suka bertamu ke kandang orang lain. Lantas ada apa sebenarnya dengan pendidikan Islam? Benarkah pendidikan Islam sudah berada di ambang marginalisasi? Atau umat Islam sudah kehilangan ghirah Islamiyahnya? Konsep pendidikannya yang sudah tidak layak pakai ataukah manusia di dalamnya? Dan sederat pertanyaan lainnya muncul ke permukaan.
***
Pada dasarnya, konsep tarbiyah Islamiyah merupakan konsep yang sangat ideal bahkan tidak ada satu pun konsep yang mampu menandingi konsep yang ditawarkan oleh Islam. Hal ini terpotret dari kisaran sejarah masa keemasan Islam (al-‘ushur al-dzahabiyah), periode Abbasiyah yang telah berhasil dengan gemilang menerapkan konsep tersebut, hingga membuat dunia tercengang menyaksikan survive pendidikan Islam kala itu. Salah satu faktor suksesnya pendidikan Islam pada masa lalu adalah karena mereka tidak pernah mendikotomi ilmu pengetahuan. Semua ilmu mereka kaji dan pelajari, tanpa melihat apakah itu ilmu umum atau agama. Bahkan konon, Jabir ibn Hayyan di samping menjadi tokoh sufi, ia juga ahli dalam ilmu Matematika.
Lantas, jika saat ini umat Islam tidak mampu mengembalikan masa supremasi pendidikannya, hal ini tidak lepas karena selama ini mereka tidak dapat menerapkan konsep yang sudah membumi dengan baik sehingga terjadi kebekuan konsep yang berlarut-larut. Meminjam istilah KH. Anwar Iskandar, "Jangankan orientasi ke depan, menoleh ke belakang saja masih sulit".
Alaa kulli hal, kiranya diperlukan revitalisasi, reaktualisasi bahkan rekonstruksi konsep yang sudah mapan untuk mengembalikan masa kejayaan itu, di samping perlunya integrasi ilmu pengetahuan sehingga menjadi satu kesatuan yang sempurna. Kalau tidak? Maka pendidikan Islam dengan konsepnya yang memukau hanya akan menjadi ornamen indah masa silam.

Buletin Istinbat, Edisi 100

tanda tangan

1 komentar:

 
© Copyright 2012. nsuparlan . All rights reserved | nsuparlan blog is proudly powered by Blogger.com | Template by rkartini -