"Sesungguhnya
yang saya takuti menimpa atas kamu ialah syirik kecil (syirkul ashghar). Para
sahabat bertanya, 'apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, ya
Rasulallah?' Nabi menjawab: 'Riya’, (yakni) ketika manusia datang untuk meminta
balasan atas amal perbuatan yang mereka lakukan. Maka Tuhan berkata kepada
mereka : 'Pergilah kamu menemui orang-orang yang karena mereka kamu beramal
(riya') di dunia niscaya kamu akan sadar apakah kamu memperoleh balasan
kebaikan dari mereka?”
Suatu ketika, di yaumil akhir, berlangsung pengadilan
terhadap tiga orang laki-laki. Yang pertama kali diadili adalah orang yang
gugur sebagai syahid. Ia kemudian dipanggil oleh Allah. Kepadanya kemudian
diperlihatkan amal perbuatannya. Ia pun mengakui perbuatannya ketika berperang
membela agama hingga akhirnya gugur sebagai syahid.
Kemudian Allah bertanya: “Apa yang telah
kamu lakukan untuk mendapatkannya (mati syahid).”
“Aku berperang demi (mendapat) ridha-Mu hingga aku gugur
di medan jihad,” jawab lelaki itu.
“Kamu berdusta,” sergah Allah.
“Kamu
berperang agar dikatakan pemberani dan sungguh kamu telah mendapatkannya,”
sambung Allah lagi.
Kemudian Allah memerintahkan agar orang
tersebut diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya Allah memanggil orang yang kedua, yakni
seorang lelaki yang tekun menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ia juga rajin
membaca al-Qur’an. Seperti yang pertama, ia pun diperlihatkan amal
perbuatannya. Setelah ia mengenalinya, Allah bertanya:
“Apa yang telah kamu perbuat dengannya (menuntut ilmu)?”
“Saya menuntut ilmu, mengajarkannya kepada yang lain dan
membaca al-Qur’an demi Engkau, ya Allah,” jawab lelaki itu.
“Kamu berdusta!” kata Allah berfirman.
“Kamu menuntut ilmu agar dibilang orang
pandai dan kamu membaca al-Qur’an agar dikatakan sebagai qori yang bagus
(bacaannya), dan sungguh kamu telah memperolehnya,” ungkap Allah.
Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret
dan dilemparkan ke neraka.
Berikutnya Allah mengadili orang yang ketiga yakni
seorang lelaki yang dilapangkan dan dikaruniai Allah kekayaan yang melimpah.
Kepadanya diperlihatkan amal perbuatannya. Iapun mengenalinya. Lalu Allah
bertanya:
“Apa yang kamu perbuat terhadap harta
bendamu?”
Lelaki itu menjawab: “Saya tak pernah melewatkan
kesempatan menafkahkan harta benda di jalan-Mu dan itu saya perbuat demi
Engkau, wahai Tuhanku”.
Allah berfirman: “Kamu berdusta! Kamu tidak
melakukan itu semua kecuali dengan pamrih agar kamu dibilang sebagai dermawan.
Dan kamu telah mendapatkan semua yang kamu inginkan."
Selanjutnya Allah memerintahkan agar orang tersebut
diseret dan dilemparkan ke neraka.
Niat yang Menentukan
Amal
baik belum tentu bernilai baik sebelum diketahui niatnya. Bisa saja manusia
memberi gelar pahlawan kepada seseorang yang memiliki keberanian dan tanggung
jawab yang besar dalam membela agama dan negaranya, akan tetapi Allah yang Maha
Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Maka Allah jualah yang akan
memberikan penilain-Nya tersendiri. Allah tidak menilai seseorang dari yang
zhahirnya saja, tapi juga dari yang tersembunyi yaitu niat atau motivasinya.
Bisa
jadi seseorang dihormati karena kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya. Tapi di
sisi Allah, seorang ulama baru dianggap bernilai bila ia ikhlas dalam mencari
ilmu dan tulus ketika mengajarkan dan menyebarluaskannya. Ketika ada motivasi
lain, sekecil apapun, pasti terdeteksi oleh ke-Mahatahuan-Nya. Allah berfirman:
"Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi.
Dan jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".
(QS. Al-Baqarah: 284)
Demikian
pula halnya dengan orang kaya yang dermawan, belum tentu kedermawanannya
berkenan di hadapan Allah. Boleh jadi kemurahannya dalam memberi digerakkan
oleh niat-niat tertentu yang dapat merusak pahala sadaqahnya. Orang-orang yang
menerima sumbangannya tidak mengetahui niat orang tersebut, tapi Allah saw
selalui memonitor gerak hati seseorang. Dia menilai tidak sekadar dari
lahirnya, tapi lebih penting lagi adalah niatnya. Itulah sebabnya, niat dalam
ajaran Islam menempati posisi sentral dan sangat menentukan. Rasulullah saw
bersabda:
Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan
sesungguhnya tiap tiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya.
Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu
ialah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena ingin memperoleh
keduniaan atau untuk mengawini seorang wanita, maka hijrahnya adalah kea rah
yang ditujunya tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda
Rasulullah di atas dilatarbelakangi oleh pengaduan seseorang yang menyampaikan
bahwa di antara orang-orang yang hijrah ke Madinah menyusul hijrahnya
Rasulullah saw ada seseorang yang berhijrah karena ingin mengawini seorang
wanita yang bernama Ummu Qais. Pada mulanya lelaki itu ingin tetap tinggal di Makkah,
akan tetapi karena Ummu Qais yang hendak dinikahinya mengajukan syarat bahwa ia
mau dinikahi jika lelaki itu hijrah ke Madinah, maka akhirnya sang lelaki itu
terpaksa turut hijrah demi kekasihnya.
Dalam
kehidupan sehari-hari ada contoh yang sederhana. Di siang hari yang panas,
seorang lelaki masuk ke mesjid. Secara lahiriyah perbuatan itu sangat terpuji.
Akan tetapi siapa tahu niat yang tersembunyi dalam hatinya. Bisa jadi ia masuk
ke mesjid dengan niat untuk istirahat. Jika niatnya seperti itu, maka ia akan
memperoleh yang diniatkannya. Ia terhindar dari sengatan matahari dan terlepas
dari rasa penat. Lain halnya jika ia meniatkan untuk i’tikaf. Boleh jadi ia
mendapatkan kedua-duanya, yaitu pahala sekaligus istirahat yang cukup.
Dalam
kenyataannya, banyak sekali perbuatan manusia yang motivasinya campur aduk
antara ikhlas dan riya’. Misalnya, orang yang menunaikan ibadah haji seringkali
niatnya tidak semata-mata untuk ibadah, tapi jauh sebelum keberangkatannya
mereka sudah membuat rencana untuk membeli perhiasan, makanan, pakaian dan
oleh-oleh lainnya untuk disebarkan kepada kerabatnya di tanah air.
Demikian
pula halnya dengan orang yang menuntut ilmu, banyak yang niatnya tidak untuk
memperoleh ridha Allah, tapi agar kelak dihormati dan disanjung masyarakat
sebagai orang yang berilmu. Atau agar kelak mendapat pekerjaan yang baik,
pangkat dan jabatan mentereng serta berkuasa di tengah masyarakatnya.
Seseorang
yang shalat malam (tahajjud) mungkin saja niatnya murni, semata-mata ingin
bertaqarrub dengan Allah swt. Akan tetapi ada pula seseorang yang menjalankan
shalat malam karena niat 'daripada tidak bisa tidur' atau karena dia sedang
berjaga, daripada bengong.
Secara syar’i,
ibadahnya orang yang disebutkan di atas tetap sah dan tidak batal, akan tetapi
kurang afdol. Ibadahnya sah, tapi kurang sempurna karena beribadah kepada Allah
menuntut adanya kemurnian niat (ikhlas) semata-mata karena Allah. Al-Qur’an
menandaskan:
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak
menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang
apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 2-3)
Riya’
merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari
demam berdarah atau aids sekalipun. Itulah sebabnya Rasulullah saw sangat
khawatir dengan penyakit ini. Beliau takut ummatnya terjerumus pada penyakit
yang beliau sebut sebagai syirik yang tersamar itu. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya yang saya takuti menimpa atas kamu ialah syirik kecil
(syirkul ashghar). Para sahabat bertanya, 'apakah yang dimaksud dengan syirik
kecil itu, ya Rasulallah?' Nabi menjawab: 'Riya’, (yakni) ketika manusia datang
untuk meminta balasan atas amal perbuatan yang mereka lakukan. Maka Tuhan
berkata kepada mereka : 'Pergilah kamu menemui orang-orang yang karena mereka
kamu beramal (riya') di dunia niscaya kamu akan sadar apakah kamu memperoleh
balasan kebaikan dari mereka?” (Hamim Thohari/ Hidayatullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar