Ada seorang anak bertanya kepada ibunya, “Mama, mau jadi apa kalau Mama
sudah besar?”. Sang ibu kaget mendengar pertanyaan yang cukup polos namun cukup
menyentuh itu. Apalagi pertanyaan itu keluar dari seorang anak yang masih belum
tahu arti sebuah cita-cita. “Mama katakan saja, lanjut anak tadi, “bahwa Mama
bisa menjadi apa saja yang Mama inginkan” Katanya, karena melihat kebingungan
ibunya.
Petikan dialog di
atas berasal dari salah satu kisah dalam buku Chicken Soup for the Woman’s
Soul.
Unik, memang.
Pertanyaan di atas ditanyakan kepada orang yang sudah dewasa: ibu. Sebab
mayoritas pendapat mengatakan pertanyaan semacam itu hanya pantas ditanyakan
kepada anak yang masih polos atau beranjak dewasa. Masa dewasa adalah terminal
terakhir dan sudah bukan masanya untuk bercita-cita; orang dewasa hanya
menekuni aktifitasnya sehari-hari, tanpa bercita-cita.
Ada kata bijak “manusia
terbang dengan cita-citanya seperti burung terbang dengan sayapnya”;
cita-cita adalah motifator seseorang untuk berjuang dalam hidup. Alih-alih
jangan memahami cita-cita sebagai jabatan strategis atau profesi bergengsi.
Manusia bukanlah
ulat yang sudah tentu akan berubah menjadi kepompong yang pada gilirannya
berubah menjadi kupu-kupu, meski ia tidak pernah mencita-citakan hal itu.
Sedangkan metamorfosis manusia tergantung pada manusia sendiri. Alangkah naif
bila manusia berhenti bercita-cita, sedangkan hidup terlalu kaku untuk dihadapi
dengan santai; tanpa semangat cita-cita.
Organisasi
semacam Hizbut Tahrir, mungkin, tidak terlalu idealis bila mereka
mencita-citakan Negara Islam, disamping sebuah tuntutan untuk merealisasikan
sebuah doktrinitas. Karena cita-cita menurut mereka (dan sebetulnya juga
menurut kita) tak ubahnya niat; maksud suci berupa upaya realitatif dari sebuah
ajaran.
Adalah Theodore
Herzl –the father of modern Zionism-, seorang Zionis yang begitu gigih
memperjuangkan berdirinya Negara Nasional Yahudi, walaupun para rabi Yahudi
saat itu membantahnya hingga mengeluarkan pernyataan “usaha yang dilakukan
oleh orang-orang Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina adalah
menyalahi janji-janji Messianik dan Yudaisme”. Kenyataannya, keinginan
Herzl “Sang Penjagal Tuhan” itu tercapai dengan diselenggarakannya Kongres
Zionis pertama di Basel Swiss dan dilaksanakannya Deklarasi Balfour yang
pertama pada 11 Desember tahun 1917, sebagai buah pemikiran kontroversinya
beberapa abad setelah dia meninggal dunia.
Begitupun dengan romantisme kepemimpinan. Mendambakan pemimpin yang dapat
melaksanakan amanat rakyat dengan jujur dan adil adalah sebuah cita-cita.
Walaupun hidup
ini tak selalu menang, berusaha adalah sebuah keniscayaan untuk tidak menarik
cita-cita ke dalam kantong sampah idealisme yang selanjutnya akan beralih
profesi sebagai “purnawirawan” atau “mantan” cita-cita yang terlupakan.
Beberapa kali
Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum. “Media obral janji” atau (lebih
halusnya) kampanye telah dilakukan. Namun, di mana keadilan berada? Kemiskinan
ada di kanan-kiri kita, tindak kriminal –walau hal itu adalah hukum alam-
semakin merajalela. Banyak kasus yang tidak diketahui jutrungnya. Apa
ini moralitas Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim?
Yakinkah kita
bahwa ketidakberesan pada multilini saat ini telah mencapai klimaksnya,
sebagaimana yang telah menjadi sunnatullah bahwa setiap sesuatu akan
mengalami masa klimaks dari dua sisi: kehancuran dan kemajuan? Jawabannya
adalah kita sendiri, masihkah kita punya cita-cita untuk memperbaiki moralitas
sosial atau kita akan patuh seperti Saturnalia yang digambarkan oleh Fredrich
W. Netzsche dalam pengantarnya di The Gay Science-nya; selalu sabar
dengan penindasan, manut dengan segala kediktatoran. Dengan kata lain
pasrah tanpa cita-cita. Pada situasi inilah kita tak lebih dari seekor ulat.
Keterkejutan kita
pada pertanyaan seorang bocah di atas adalah gladi resik dari
ketidakpunyaan kita terhadap cita-cita ketika sudah dewasa dan keyakinan kita
pada ‘ajaran’ yang mengatakan bahwa cita-cita hanya dimiliki oleh anak polos.
Akankah keyakinan itu akan kita pelihara sehingga beranak-pinak. Kalau memang
tidak, mengapa kita yang telah dewasa- akan berhenti untuk bercita-cita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar