Pemuda adalah masa depan bangsa. Sedang masa depan pemuda
tergantung pada pendidikannya. Maka, di sinilah pentingnya pendidikan. Dan,
sistem dalam sebauh pendidikan jauh lebih penting dari isi pendidikan itu
sendiri. At-thoriqoah ahammu minal madah.
Dan, sebagai umat Islam, kita semestinya harus yakin, pendidikan Islam
adalah yang terbaik. Tapi butulkah kita sudah meyakininya? Entahlah!
Pendidikan Islam muncul sejak Nabi Muhammad diutus untuk
menyebarkan agama Islam. Mulanya, pendidikan Islam terbatas pada bentuk
perkumpulan (halqah). Di situ terdapat seseorang yang memimpin, sebagai seorang
pembimbing. Halqah atau kumpulan sekelompok orang dengan bentuk melingkar itu
dilakukan untuk belajar ilmu pengetahuan.
Pada awal munculnya Islam, fasilitas pendidikan Islam
hanya terbatas pada masjid, surau atau tempat peribadatan lainnya. Namun lambat
laun pendidikan Islam mengalami peningkatan dengan didirikannya lembaga
pendidikan seperti madrasah, sekolah formal, universitas dan perpustakaan—serta
dibentuknya halqah dirasiyah (kajian, diskusi).
Pada paruh pertama periode Daulah Abbasiyah di Baghdad
(750-1258 M.) dan Daulah Umayyah di Spanyol (711-1492 M), pendidikan Islam
mencapai puncak keemasannya, di mana Islam melakukan integritas dari beragam
keilmuan yang ada saat itu, dan mentransformasikan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan secara integral. Namun demikian, Islam tidak mengesampingkan
nilai-nilai moral dan keutamaan (al-fadl) yang menjadi target utama dalam
pendidikan Islam itu sendiri, karena moralitas dan keutamaan adalah ‘the top
poin’ (ruh) dari pendidikan Islam. Pada saat itu, kaum muslimin tidak menutup
diri untuk mengkaji dan membuka sekolah-sekolah kedokteran, sastra, ilmu-ilmu
pasti (al riyadliyah), filsafat (Islam) dan lain-lain. Mereka tidak memberi limited
place and time (batasan ruang lingkup dan tempat) untuk mengkaji ragam keilmuan
yang berkembang.
Tidak heran jika kemudian bermunculan sarjana-sarjana
muslim yang berkompeten dalam beragam ilmu pengetahuan, baik bidang keagamaan
atau lainnya. Seperti Al Ghazali dengan tashawufnya, Ibn Rusyd dan Al Kindi
dengan filsafatnya, dan Ibn Sina dengan ilmu medisnya. Mereka adalah satu di
antara sekian banyak sarjana Muslim yang memegang kendali keilmuan pada saat itu.
***
Dalam pengamatan sejarah, pendidikan Islam di Indonesia
mulai mengalami perkembangan pada awal abad ke 20. Banyak madrasah dan
pesantren lahir. Sejak penjajahan
Belanda, di Indonesia telah didirikan sekolah dan atau madrasah yang memiliki
orientasi keislaman. Mulai dari Sumatera Barat, Sumatera Timur, Padang, Jambi,
Aceh, Palembang, Jombang, Kudus, Yogyakarta, Banten, Jakarta, Sulawesi, Lombok,
Kalimantan, Jawa dan di berbagai belahan Nusantara lainnya.
Pertengahan abad 20 adalah era munculnya sekolah-sekolah
tinggi Islam. Sekolah Guru Agama Islam (SGAI), Sekolah Guru dan Hakim Agama
Islam (SGHA), Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang kemudian diubah menjadi
IAIN, dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).
Pertanyaannya, apakah kesuksesan dan kemajuan pendidikan
Islam itu bisa dinilai dari semakin pesat dan semaraknya madrasah, penerapan
kurikulum agama dan didirikannya sekolah tinggi agama Islam? Fenomena di atas
tidak cukup kuat untuk dijadikan acuan bahwa pendidikan Islam telah mengalami kesuksesan.
Dan sulit juga kita katakan bahwa pendidikan Islam mengalami kemunduran.
Memang, pesatnya lembaga pendidikan yang berorientasi keislaman, baik yang
berskala nasional ataupun internasional, telah mengarah pada sebuah orientasi
yang cerah, memiliki nilai positif-plus terhadap ajaran agama. Tanpa kita
sadari sekian juta umat dunia telah mengenyam pendidikan agama (Islam). Ajaran
agama semakin terjamin keutuhan dan entitasnya. International Islamic
University di Pakistan dan Malaysia, Islamic Institute of Advanced Studies di
Washington DC dan the International Institute of Islamic Thaught and
Civilization di Kuala Lumpur Malaysia adalah salah satu bukti bahwa
perkembangan pendidikan Islam memang patut dibanggakan. Tapi di sisi lain,
rasanya kita jarang (atau lebih tepatnya: belum) menyaksikan teori-teori atau
penemuan orang Islam yang kemudian bisa dikonsumsi oleh umat manusia secara
umum. Kalaulah ada, mungkin hanya “nol koma” dari sekian milyar umat Islam di
dunia saat ini. Dan, yang dapat kita amati adalah mayoritas (kalau tidak mau mengatakan seluruh) umat
Islam menjadi konsumen atau penjiplak budaya dan teori-teori Barat.
Terbukti--kalau mau dihitung secara presentasi--lebih dari 50% umat Islam yang
ada di Indonesia lebih memilih pendidikan formal yang nota bene-nya berkiblat
pada Barat. Sehingga secara tidak langsung bisa ditarik benang kusut bahwa umat
Islam tidak tertarik dengan pendidikan yang didirikan oleh umat Islam sendiri,
dalam hal ini pendidikan pesantren dan sekolah-sekolah Islam lainnya.
Salah satu bukti nyata adalah nasib universitas al-Azhar.
Dulu, ia menjadi universitas kebanggaan umat Islam. Banyak mahasiswa Barat
tertarik dan kemudian menuntut ilmu ke sana. Tapi kini, al-Azhar hanya
dipandang sebelah mata, bukan hanya oleh orang luar, tapi juga oleh kaum
muslimin sendiri. Al-Azhar menjadi universitas “swasta” yang sejatinya hanya
dilirik oleh calon mawasiswa “kelas” dua. Dan ini juga sangat dirasakan oleh
universitas-universitas Islam di negara-negara Islam, termasuk Indonesia.
Ironis memang, jika umat Islam enggan atau gengsi
meneruskan studinya di “kandang” sendiri, dan lebih suka bertamu ke kandang
orang lain. Lantas ada apa sebenarnya dengan pendidikan Islam? Benarkah
pendidikan Islam sudah berada di ambang marginalisasi? Atau umat Islam sudah
kehilangan ghirah Islamiyahnya? Konsep pendidikannya yang sudah tidak layak
pakai ataukah manusia di dalamnya? Dan sederat pertanyaan lainnya muncul ke
permukaan.
***
Pada dasarnya, konsep tarbiyah Islamiyah merupakan konsep
yang sangat ideal bahkan tidak ada satu pun konsep yang mampu menandingi konsep
yang ditawarkan oleh Islam. Hal ini terpotret dari kisaran sejarah masa
keemasan Islam (al-‘ushur al-dzahabiyah), periode Abbasiyah yang telah berhasil
dengan gemilang menerapkan konsep tersebut, hingga membuat dunia tercengang
menyaksikan survive pendidikan Islam kala itu. Salah satu faktor suksesnya
pendidikan Islam pada masa lalu adalah karena mereka tidak pernah mendikotomi
ilmu pengetahuan. Semua ilmu mereka kaji dan pelajari, tanpa melihat apakah itu
ilmu umum atau agama. Bahkan konon, Jabir ibn Hayyan di samping menjadi tokoh
sufi, ia juga ahli dalam ilmu Matematika.
Lantas, jika saat ini umat Islam tidak mampu
mengembalikan masa supremasi pendidikannya, hal ini tidak lepas karena selama
ini mereka tidak dapat menerapkan konsep yang sudah membumi dengan baik
sehingga terjadi kebekuan konsep yang berlarut-larut. Meminjam istilah KH.
Anwar Iskandar, "Jangankan orientasi ke depan, menoleh ke belakang saja
masih sulit".
Alaa kulli hal, kiranya diperlukan revitalisasi,
reaktualisasi bahkan rekonstruksi konsep yang sudah mapan untuk mengembalikan
masa kejayaan itu, di samping perlunya integrasi ilmu pengetahuan sehingga
menjadi satu kesatuan yang sempurna. Kalau tidak? Maka pendidikan Islam dengan
konsepnya yang memukau hanya akan menjadi ornamen indah masa silam.
Buletin Istinbat, Edisi 100
tos janten pakar :)
BalasHapus